Bank Artikel

ku-Cari, ku-Baca, ku-Arsip-kan. ^Semoga bermanfaat^

02 Mei 2011

Syukurilah Kejelitaanmu! (sambungan)

Sebelum baca kelanjutan kisahnya, silakan baca dulu jalan ceritanya dari awal disini.

Keesokan harinya...

Wanita cantik itu telah siap menjalankan rencananya. Ia bergegas berjalan menuju Mesjidil Haram. Di sana ia akan menemui 'Ubaid ibn 'Umair. Ia akan berpura-pura seolah-olah ingin bertanya dan meminta fatwa darinya. Dan setelah itu, "Engkau rasakan jebakanku!!" ujar wanita itu pada dirinya sendiri.

Tidak sulit untuk menemui 'Ubaid ibn 'Umair. Saat itu ia sedang duduk berdzikir di salah satu sudut mesjid dan tidak duduk di halaqah pengajiannya. Wanita itu mendekatinya. Dengan nada yang sangat sopan, ia mulai berbicara...

"Maaf, Tuan. Bolehkah aku menanyakan beberapa masalah kepada Anda??"
"Oh, iya, tentu saja. Tanyakanlah...," jawab 'Ubaid ibn 'Umair tanpa curiga sedikitpun.

Tapi tiba-tiba saja, wanita itu menyingkap wajahnya. Nampaklah kejelitaan dan kecantikannya memancar bak rembulan. 'Ubaid ibn 'Umair terkejut...

"Wahai Amatullah [hamba Allah yang perempuan, sepadan dengan Abdullah yang berarti hamba Allah yang laki-laki]!! Tidakkah engkau takut pada Allah??! Mengapa Engkau menyingkap wajahmu seperti itu??!" ujarnya.
"Tuan, aku sungguh tergoda dengan Anda...," kata wanita "jalang" itu. "Lakukanlah apa saja yang Anda inginkan pada diriku...," lanjutnya semakin menggoda.

'Ubaid ibn 'Umair terkejut luar biasa. Nyaris saja ia tidak tahu harus berbuat apa. Namun Allah menolongnya. Ia masih dapat menguasai diri dan pikirannya.

"Baiklah. Sebelum aku memenuhi permintaanmu, aku ingin engkau menjawab pertanyaanku. Jika engkau mengiyakan semua pertanyaanku, aku akan penuhi keinginanmu," kata 'Ubaid.
"Ah, Tuan. Semua pertanyaanmu pasti akan kuiyakan. Anda tidak usah khawatir...," jawab wanita itu semakin menggoda.

"Baiklah. Katakanlah padaku, jika saja saat ini malaikat maut hadir untuk mencabut nyawamu, apakah engkau masih senang melakukan keinginanmu tadi bersamaku??" begitu pertanyaan 'Ubaid yang pertama.
Wajah wanita itu berubah. Ia terkejut. Buyar semua yang ia pikirkan sejak tadi.

"Ttte..ntu ...tti..dak, Tuan," jawabnya.

"Andai saja engkau telah dimasukkan ke dalam kuburmu, lalu engkau didudukkan untuk ditanya, apakah engkau masih berfikir untuk melakukan keinginanmu tadi bersamaku??" tanya 'Ubaid yang kedua.
Semakin pias paras jelita wanita itu.
"Oh, tentu tidak, Tuan."

"Wahai hamba Allah! Saat kita semua telah berkumpul di padang Mahsyar untuk mengambil catatan amal kita, dan engkau tak tahu; apakah engkau akan menerima catatan amalmu dengan tangan kanan atau tangan kirimu, di saat itu mungkinkah engkau masih berniat melakukan apa yang kau katakan tadi padaku??" kembali 'Ubaid ibn 'Umair bertanya untuk ketiga kalinya.
Wanita semakin salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya takut.
"Eh..eh..ttte..te.ntu tidak, Tuan."

"Sekarang bayangkanlah saat-saat engkau akan menyeberangi jembatan yang melintas di atas neraka, engkau tak tahu apakah engkau akan selamat melewatinya atau tidak. Di saat itu, masihkah engkau melakukan apa yang kau pinta tadi padaku??"
"Sama sekali tidak, Tuan..." jawab wanita itu.

"Baiklah. Ketika timbangan amal telah dihadirkan, lalu amalanmu pun dihadirkan, dan saat itu engkau tak tahu apakah kebaikanmu yang berat atau justru kejahatanmu. Masih terpikirkah olehmu untuk melakukannya??" tanya 'Ubaid untuk keempat kalinya.
"Ah, itu saat yang mengerikan, Tuan. Mana mungkin aku berpikir tentang itu...," ujarnya.

"Dan sekarang dengarlah pertanyaan terakhirku. Renungkanlah saat engkau berdiri di hadapan Allah seorang diri. Engkau akan ditanya. Masihkah -di saat seperti itu- engkau terbayang untuk memintaku melakukan perbuatan keji itu terhadapmu??"
"Tuan, tidak mungkin...tidak mungkin aku melakukan itu..," jawab wanita itu. Dan matanya telah memerah. Ia tak sanggup lagi menahan butir-butir air mata yang sejak tadi tertahan...

"Kalau begitu, takutlah pada Allah, wahai Amatullah! Lihatlah, betapa Allah telah mengaruniakanmu semua nikmat ini! ujar 'Ubaid ibn 'Umair sembari membalikkan badannya, dan membiarkan wanita jelita itu menangis tersedu-sedu sendiri. Di sana, di salah satu sudut Mesjidil Haram.

Entah apa kini yang ada di benaknya. Tapi jelaslah, pertanyaan-pertanyaan itu terlalu menyentaknya. Ia benar-benar tidak menyangka, sedikit pun, ternyata sang 'alim yang zuhud itu "menusuk" hati nuraninya yang paling dalam.
Dan wanita itupun melangkah pulang ke rumahnya... Entah apa yang terjadi nanti...



* * *


Pria itu sungguh terkejut. Tadi, saat istrinya meninggalkan rumah, jelas sekali wajah cerahnya begitu berseri-seri. Tapi kini, tiba-tiba saja ia pulang dan...menangis tersedu-sedu. Apa yang telah terjadi?? Saat ia menanyakan itu pada istrinya, istrinya mengisahkan kisahnya bersama 'Ubaid ibn 'Umair...

Yang pasti sejarah tak mencatat dengan persis apa kata yang diucapkan pria itu usai menyimak kisah istrinya. Namun yang pasti, sejak hari itu...Iya, sejak hari itu, wanita "penggoda" itu tak menghabiskan waktunya sedikit pun kecuali dalam tangis-tangis penghambaan pada Allah Rabbul 'Alamin. Hidupnya adalah jejak-jejaknya menunaikan puasa di siang hari dan shalat di malam hari. Hingga tercatatlah kata-kata sang suami dalam sejarah,

"Duhai, apa salahku?? Mengapa 'Ubaid ibn 'Umair "merusak" istriku?? Dahulu, malam-malamku bersamanya adalah malam-malam pengantin baru. Tapi kini, lihatlah, ia tak ubahnya seperti seorang pendeta... Ia terus-menerus tenggelam dalam ibadahnya..."

Patutkah pria itu dikasihani? Entahlah... Tapi kasihanilah dirimu, wahai seluruh amatullah yang ada di muka bumi ini, jika kejelitaanmu tak membuatmu bersyukur pada Yang mengaruniakan keindahan itu...



disalin dari buku "Kerinduan Seorang Mujahid" karya Abul Miqdad Al-Madani

0comments:

Posting Komentar